Nama: White Spot Disease atau bintik putih atau lebih familiar bagi petambak penyakit WS
Tanda-tanda klinis: Gejala klinis yang tampak pada udang yang terinfeksi berupa bintik putih, biasanya berbentuk lingkaran pada kulit dan terkadang disertai oleh kemerahan pada seluruh tubuh, hepatopankreas membesar dan berwarna putih kekuningan, hilangnya nafsu makan dan setelah beberapa hari udang tampak sekarat dan berenang di atas permukaan air di dekat pinggiran kolam.
Metode diagnosa: diagnosa di lapangan dilakukan dengan melihat tanda-tanda klinis yang muncul dan dikonfirmasi pengujian sampel udang menggunakan PCR maupun teknik histopatologi di laboratorium.
Nama: White Spot Syndrome Virus (WSSV) dari family Nimaviridae genus Whispovirus.
Tipe patogen: Virus
Sinonim: WSSV
Karakter: Virus ini dapat bertahan dalam air laut selama 30 hari. Suhu optimum virus ini adalah 18-30°C. Virus ini memiliki DNA double-stranded dan terbungkus. WSSV menarget jaringan ektodermal (epidermis kutikular, foregut dan hindgut, insang dan jaringan saraf), mesodermal (jaringan konektif organ limfoid, kelenjar antena dan jaringan hemopoetic). Virus ini menghasilkan protein non struktural yang diduga bertanggungjawab pada proses infeksi. Protein ini merupakan protein yang paling banyak diekspresikan, yakni protein ICP11 yang mencegah pengikatan DNA inang ke protein histon yang kemudian mengganggu perakitan nukleosom inang. Virus masuk melalui mulut dan insang. Menginfeksi tidak hanya udang, namun kelompok decapoda lain seperti kepiting, lobster, udang air tawar serta larva serangga dan artemia. Virus masuk melalui mulut dan melalui insang. Virus ini termasuk dalam virus patogen kategori C-1, yaitu kategori yang dapat menyebabkan kematian massal dan dapat menyebar dalam suatu wilayah serta sulit untuk disembuhkan.
Toksisitas: virus ini dapat mengakibatkan kematian total mencapai 70-100% populasi udang di tambak, pada infeksi taraf akut kematian terjadi dalam 2-10 hari setelah muncul tanda-tanda klinis. Kematian dapat mulai terjadi setelah 1-2 hari pasca infeksi dan terjadi kematian massal pada hari ke 3-10 mencapai 80%-100%. Kematian udang yang terkena WS menurun ketika suhu diatas 32°C.
Faktor pre-disposing: penyakit ini dapat dipicu dengan adanya faktor stres misal perubahan salinitas yang mendadak. Selain salinitas juga dipengaruhi suhu, rendahnya DO, dan tingginya konsentrasi amonia dapat menjadi faktor stres. Pada prinsipnya penyakit dapat menyerang udang dengan kombinasi antara kondisi lingkungan, kondisi inang (udang), dan adanya patogen (virus), adanya interaksi yang tidak serasi antara ketiganya akan menyebabkan stres pada udang dan akhirnya udang terserang penyakit. Kondisi lingkungan yang menyebabkan stres pada udang dapat menurunkan sistem imun.
Transmisi: virus tersebar dengan jalur horizontal misalnya kanibalisme dan predasi serta dapat melalui jalur aliran air dan masuk ke insang.
Epidemiologi: dideteksi awal terjadi pada 1992 di Tiongkok kemudian menyebar ke wilayah Asia Tenggara hingga ke wilayah Amerika Latin. Awal terjadi di Indonesia pada 1994 di pesisir utara Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat hingga mencapai daerah Aceh Selatan.
Inang atau vektor: virus ini dapat langsung menginfeksi udang tanpa memerlukan vektor biologi. Tetapi virus ini dapat dibawa oleh organisme akuatik lain dan menularkannya, misalnya dari beberapa jenis krustasea, zooplankton, moluska, fitoplankton, hingga cacing. Virus ini juga dapat dibawa oleh udang dan menularkannya ke individu lainnya.
Dosis infeksi: dosis virus (LD50) dengan tingkat kematian 100% terjadi pada populasi virus mencapai 106 CFU/ml.
Periode inkubasi: 2 hingga 10 hari setelah virus menginfeksi udang.
Kerentanan terhadap obat: belum ada data.
Kerentanan terhadap desinfektan/probiotik: belum ada data.
Inaktivasi fisik:Virus dapat diinaktivasi menggunakan formalin (konsentrasi diatas 10%), etanol (konsentrasi ≥ 30%), desinfektan (hipoklorit [konsentrasi 100 ppm selama 10 menit] dan isodin [konsentrasi diatas 1,25 ppm]) pada suhu 25°C. dapat juga menggunakan radiasi cahaya UV 9,30 x µWs/cm². Virus ini juga dapat diinaktivasi pada suhu 50°C selama 120 menit dan 60°C selama 1 menit; menggunakan pH 3 selama 60 menit atau pH 12 selama 10 menit.
Peringatan dini: mendeteksi tanda-tanda klinis dan perubahan perilaku udang.
Pencegahan: menghindari penebaran benih dimusim yang lebih dingin, menggunakan benur SPF atau benur yang bebas penyait. Menerapkan biosekuriti dan polikultur udang dengan ikan. Selain itu pakan yang digunakan menghindari penggunaaan pakan hidup.
Pengobatan: tidak ada vaksinasi yang efektif untuk pengobatan WSSV. Dapat dicegah dengan menambahkan beta-glucan, viamin C, fucoidan dan imunostimulan lain pada pakan yang dapat meningkatkan resistensi terhadap virus ini.
Eradikasi: kolam segera diberi perlakuan klorin 30 ppm untuk membunuh udang dan karier potensial yang ada di kolam. Udang dan hewan lain yang mati diambil dan dikubur atau dibakar. Air yang telah diberi klorin dibiarkan selama 4 hari.
Penyakit ini sangat merugikan petambak udang vaname hingga kerugian negara, karena diperkirakan menurunkan pemasukan negara hingga trilyunan rupiah.
Afsharnasab, M., R. Mortezaei, V. Yegane, and B. Kazemi. 2009. Gross Sign, Histopathology and Polymerase Chain Reaction Observation of White Spot Syndrome Virus in Shrimp Specific Pathogen Free Litopenaeus vannamei in Iran. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances. 4 (6): 297-305.
Bir, J., P. Howlader, S. Ray, S. Sultana, S.M.I. Khalil, and G.R. Banu. 2017. A Critical Review on White Spot Syndrome Virus (WSSV): A Potential Threat to Shrimp Farming in Bangladesh and Some Asian Countries. International Jorunal of Microbiology and Mycology. 6 (1): 39-48.
FAO Fisheries Technical Paper 402/2.
Ferasyi, T.R., Zulpikar, Sugito, Z.A. Muchlisin, Razali, Nurliana, and Al Azhar. 2015. A Preliminary Study of White Spot Syndrome Virus (WSSV) Infection on Vannamei Shrimp Intensive Ponds in Bireuen District of Aceh Province, Indonesia. AACL BIOFLUX. 8 (5): 810-816.
Kilawati, Y. Dan Y. Maimunah. 2015. Kualitas Lingkungan Tambak Intensif Litopenaeus vannamei Dalam Kaitannya dengan Prevalensi Penyakit White Spot Syndrome Virus. Research Journal of Life Science. 2 (1): 50-59.
Lotz, J.M. 1997. Special Topic Review: Viruses, Biosecurity and Specific Pathogen-free Stocks in Shrimp Aquaculture. World Journal of Microbiology & Biotechnology. 13: 406- 413.
OIE. 2018. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals.
Oseko, N., T.T. Chuah, Y. Maeno, B.C. Kua, and V. Palanisamy. 2006. Examination for Viral Inactivation of WSSV (White Spot Syndrome Virus) Isolated in Malaysia Using Black Tiger Prawn (Penaeus monodon). JARQ. 40 (1): 93-97.