Budidaya lahan basah atau tambak merupakan sektor penting dalam menyumbang pasokan kebutuhan pangan di Indonesia. Sektor ini memiliki potensi yang sangat besar karena 70% wilayah Indonesia adalah perairan. Produksi perikanan di Indonesia dalam sektor perikanan budidaya atau tambak mencapai 16.675.031 ton pada tahun 2016 dan mengalami peningkatan tiap tahunnya (BPS, 2016).
Sektor perikanan budidaya atau tambak ini umumnya dikelola secara tradisional, baik secara monokultur maupun polikultur. Namun, kini semakin banyak tambak yang dikelola secara intensif. Salah satu dari sekian banyak parameter yang mempengaruhi budidaya adalah fitoplankton (alga) yang memiliki dampak yang besar terhadap kualitas suatu perairan, termasuk pada tambak tradisional maupun tambak intensif.
Fitoplankton adalah jenis plankton yang merupakan produsen primer dalam perairan. Fitoplankton berperan sebagai mata rantai pertama di dalam jejaring makanan perairan sehingga dijuluki sebagai produsen primer. Selain perannya sebagai produsen primer dalam perairan tambak, fitoplankton juga memiliki manfaat lain, diantaranya:
Populasi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya, suhu, dan kandungan hara perairan. Konsentrasi unsur hara seperti unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) pada perairan dapat memicu blooming algae atau eutrofikasi. Eutrofikasi adalah meningkatnya kepadatan fitoplankton yang sangat tinggi dan berpengaruh buruk pada kualitas perairan.
Beberapa kasus blooming algae yang terjadi pada perairan tambak dapat membuat sebagian besar ikan dan udang mati. Hal ini dikarenakan jumlahnya yang sangat tinggi sehingga menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut di perairan secara signifikan. Blooming algae ini merupakan kasus yang sering terjadi pada tambak intensif dikarenakan suburnya dasar tambak akibat menumpuknya kotoran udang dan sisa pakan.
Tambak tradisional adalah teknik yang pertama kali dilakukan oleh para petani tambak zaman dahulu. Teknik ini juga masih dilakukan oleh para petambak hingga saat ini. Teknik tambak tradisional tidak memerlukan pemberian pakan atau perlakuan pada tambak mereka, tetapi hanya memanfaatkan sebagian besar kondisi pasang-surut air laut dan pakan alami. Air di muara akan meneruskan air pasang pada pintu masuk (inlet) dalam tambak untuk pertukaran nutrien dan unsur hara.
Meskipun petani tambak tradisional masih ditemukan, kini teknik tambak tradisional sudah tidak banyak diminati karena produktivitasnya yang rendah. Sebagian besar petambak saat ini mengelola lahan tambaknya secara tradisional atau semi-intensif.
Tambak tradisional semi-intensif memanfaatkan saluran air atau irigasi buatan dari muara menuju lahan tambak. Air yang telah masuk ke dalam area tambak kemudian ditutup supaya tidak terpengaruh kondisi pasang atau surut air laut. Teknik ini hampir mirip dengan teknik tambak tradisional. Namun, hal yang membedakan adalah unsur hara dan plankton tidak terjadi secara alami. Pada tambak semi-intensif dilakukan pemupukan di awal masa persiapan, yaitu pupuk organik sebesar 400-1000 kg/ha, urea 200-400 kg/ha, dan SP36 100-200 kg/ha. Pemupukan ini dilakukan untuk mempertahankan jumlah plankton dalam tambak.
Tambak intensif merupakan teknik budidaya perikanan dengan cara memberikan pakan terus-menerus ke dalam tambak sebagai sumber makanan utama udang. Meskipun begitu, kehadiran fitoplankton pada tambak intensif seringkali menyebabkan masalah yang serius. Masalah yang sering terjadi adalah blooming algae, sering terjadi pada tambak intensif dikarenakan suburnya dasar tambak akibat menumpuknya kotoran udang dan sisa pakan.
Meskipun tambak intensif memiliki keuntungan yang sangat besar, tidak sedikit petambak intensif yang mengalami kerugian. Kegagalan tersebut disebabkan oleh penyakit dan kematian udang. Kualitas perairan buruk yang terjadi pada tambak intensif diakibatkan oleh kandungan oksigen yang rendah dan kekeruhan yang sangat tinggi.
Salah satu upaya untuk mengendalikan kualitas perairan tetap baik adalah dengan memasang kincir pada tambak intensif. Kincir merupakan teknologi yang mampu menjaga kebutuhan oksigen pada budidaya udang. Fungsi kincir air terhadap oksigen terlarut adalah sebagai pengadukan sehingga dapat mempercepat proses difusi serta mengatur posisi endapan bahan organik atau sisa-sisa pakan dan feses. Selain kincir, juga dilakukan pergantian air dengan cara membuang air melalui bagian bawah tambak secara berkala. Dengan demikian, kotoran, sisa pakan, dan feses yang mengendap bisa ikut terbuang. Pergantian air ini mampu meningkatkan kualitas perairan tambak.
Tambak intensif yang sukses memiliki kualitas perairan yang lebih baik, kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi, serta hasil panen yang besar. Tingginya kelimpahan komunitas fitoplankton menandakan bahwa kualitas perairan baik sehingga dapat menunjang produksi tambak.
Tambak intensif mampu menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan tambak tradisional. Namun, biaya yang diperlukan untuk mengelola tambak intensif tentunya juga lebih tinggi. Penelitian mengenai perbandingan biaya dan pendapatan terhadap usaha tambak tradisional dan intensif yang dilakukan di Situbondo, Jawa Timur, pada Maret-Agustus 2017 menunjukkan bahwa total biaya yang dikeluarkan pada tambak tradisional sebesar Rp51.749.504,00 dan pendapatan bersih sebesar Rp61.317.112,00. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan pada tambak intensif sebesar Rp630.865.592,00 dengan pendapatan bersih sebesar Rp727.773.104,00.
Meskipun tambak intensif memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan tambak tradisional, tambak intensif memberikan dampak lingkungan yang lebih buruk dibandingkan tambak tradisional. Hal ini dikarenakan limbah pakan dan kotoran dari tambak udang intensif dibuang secara langsung pada saluran air, sungai, ataupun muara sehingga menyebabkan penurunan kualitas perairan. Salah satu kasus yang terjadi adalah dampak kegiatan tambak udang intensif di area hulu di Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur yang menyebabkan tingginya konsentrasi TSS dan COD perairan pantai hingga melebihi ambang batas.